­

SUDUT SUDUT KOTA

Sabtu, Oktober 24, 2015


“rumputnya selalu basah  setiap hari sekalipun gak ada hujan. Rumput basah bikin taman itu punya bau yang khas. Bau yang seksi” Dengan semangat Wie mengulang cerita tentang suasana taman yang akan segera ia datangi bersama Drew, bibirnya mengguratkan senyum tanpa dikomando.


“Biasa aja ah” Drew memprotes begitu kakinya menginjak masuk ke dalam taman kota kecil di salah satu tepian kota Bogor “dasar perempuan melankolis, nyeritain taman banyak sampah kayak gini aja udah kaya nyeritain Taman Firdaus tempat Nabi Adam sama Siti Hawa pacaran” Drew mengacak rambut perempuan di sebelahnya yang tampak asyik memandang ke sekeliling taman. Wie lalu menarik tangan Drew ke sisi lain taman itu, mereka duduk menghadap ke sebuah sungai yang mengalir tanpa lelah jauh di bawah taman. “Lihat, aku suka sungai itu. Sekalipun airnya gak jernih kayak sungai-sungai di buku dongeng tapi suara arus airnya yang harus beradu sama suara mobil dan motor di belakang sana menenangkan. Sungainya berbisik, Drew” tutur Wie sembari merebahkan kepalanya di pangkuan Drew.

“Bukan sungainya, bukan rumputnya. Tapi kenangannya kan, Wie ? gak mungkin kalau kamu gak tahu aku cemburu tiap kali kamu cerita tentang taman ini. Dan sekarang kamu malah maksa aku buat kesini” mulut lelaki berkaca mata itu memprotes namun tangannya memilin-milin rambut Wie dengan mesra.

“Apa yang salah sama kenangan ? Menikmati kenangan masa lalu bareng seseorang yang nyata di masa sekarang itu menyenangkan, Drew. Mencintai kenangan masa lalu gak berarti masih mencintai seseorang dari masa lalu” balas Wie seraya membuka mata, bangkit dari berbaring di pangkuan Drew, mengecup lembut pipi lelaki itu tanpa malu kemudian membawanya keluar dari taman itu, dari kenangan masa lalu, sementara hatinya tetap sibuk bertanya masihkah laki-laki dari masa lalunya suka berkunjung ke taman itu ?

Di sudut lain kota itu, seorang perempuan berbaring demikian manja di pangkuan calon suaminya. Calon suami yang dengan tatapan penuh cinta mengelus rambut dan mengecup keningnya.


***

Pagi ini adalah pagi pertama Wie melangkah ke tempat kerjanya yang baru. Sejak jauh-jauh hari pasca menerima kabar bahwa dirinya lolos seleksi dan akan menjadi presenter berita di salah satu televisi swasta ia sudah sibuk merengek agar Drew mau mengantarnya di hari pertama kerja. Drew dibuat jengkel oleh rengekan yang berulang selama beberapa hari, tanpa Wie perlu merengek ia memang sudah berniat akan mengantarnya dan menungguinya hingga selesai siaran. Tapi Wie selalu begitu, suka sekali membuat Drew jengkel sekaligus gemas sebelum akhirnya mereka saling berpelukan.

Beberapa menit lagi wajah Wie akan segera muncul di televisi seluruh penjuru negeri. Jantungnya berdegup kencang, tapi Drew yang tersenyum di kejauhan begitu saja memberinya rasa percaya diri yang tak terkira. Senyumnya membuncah membayangkan ibu dan bapaknya ribut di rumah mengumpulkan tetangga untuk melihat anak kebanggaannya muncul di televisi.

Ia kemudian tersenyum kecut, membayangkan hal konyol yang menjadi alasan awal ia melamar untuk pekerjaan sebagai pembaca berita itu. Ya, pada awalnya Wie nekat melamar hanya karena ia ingin masuk TV dan berharap lelaki dari masa lalunya akan menyesal melihat ia dengan kesuksesannya. Beberapa menit sebelum wajahnya muncul dimana-mana ia justru berharap lelaki dari masa lalunya itu sedang tidak menonton televisi. Atau bila mungkin, ia berharap lelaki itu tak punya televisi hingga takkan pernah tahu bahwa wajahnya telah tayang dimana-mana.

Di sudut lain kota itu seorang perempuan dengan tangan berkeringat memandang penuh cinta dan kecemasan pada calon suaminya yang menunggu dengan setia di balik jendela. Ia sudah siap untuk presentasi proyek pertamanya sebagai arsitek muda.
***

Sebulan sudah Wie menjalani pekerjaanya sebagai presenter berita. Wajahnya sudah tak asing lagi bagi banyak penikmat berita di pagi dan sore hari. Drew bisa fokus lagi dengan bahan bahan kimia dan setumpuk hasil riset di meja laboratoriumnya tanpa diganggu oleh Wie yang nervous dan merengek. Dan Wie, Dengan ajaib ia tak pernah lagi memikirkan apakah lelaki dari masa lalu yang memberinya semangat untuk muncul ke permukaan itu sudah melihat kemunculannya di TV. Padahal sebelumnya tak ada seharipun yang ia lewatkan tanpa memikirkan lelaki yang kini menjadi pengusaha otomotif ternama itu, tak ada hari yang selesai sebelum Wie mengetikkan nama lelaki itu di kolom pencarian berbagai sosial media hanya untuk melihat aktifitasnya, sekalipun Wie sudah berpacaran lebih dari setahun dengan Drew dan lelaki itupun nampaknya tak lagi sendiri.

Sore itu selepas siaran Wie dengan sepeda motornya melaju ke arah sebuah rumah makan di tengah-tengah kota Bogor. Ketika ia tiba, Drew dengan senyum terbaiknya sudah menunggu di salah satu meja.  Mereka lalu makan bersama diselingi senda gurau dan tangan Drew yang tak pernah bosan mengacak rambut Wie dengan manjanya.

“Wie, aku takut” Drew tiba-tiba merebahkan kepalanya ke pundak Wie.

“Ada apa?”

“Aku takut gak akan pernah cukup sempurna buat kamu” tutur Drew dengan suara lemah

“Kamu kenapa sih ? mana ada manusia yang sempurna. Aku juga gak akan pernah bisa jadi sempurna buat kamu” balas Wie mulai bingung dengan arah pembicaraan.

“Aku sayang kamu karena kamu gak sempurna. Aku tahu di samping kamu aku bakal berguna buat ngingetin kamu makan, buat nguatin kamu setiap kamu mulai cengeng dan ngerengek manja, buat beliin kamu buku-buku yang kamu suka, buat dengerin cerita apapun dari mulut bawel kamu, buat  meluk kamu setiap kali kamu punya masalah. Aku cuma takut kalo selama ini kamu jalan sama aku buat mencari kesempurnaan sebelum akhirnya kamu memutuskan untuk tinggal atau pergi dari aku” Drew menggemgam erat tangan Wie.

“Aku udah cukup banyak denger pidato yang di akhirnya selalu ngingetin kalo kesempurnaan itu cuma milik Tuhan, Sayang” Wie berusaha melucu sambil mengelus kepala Drew yang tampak sedang tak bergairah untuk tertawa. Tak ada yang  tahu bahwa ada sesak yang mulai menjalar di hati perempuan itu.

“Aku pengen menyempurnakan dan disempurnakan, Wie” Drew semakin melankolis.

Wie tak tahu harus menjawab apa hingga akhirnya Drew mengangkat kepalanya, merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kotak cincin “Sempurnakan aku, Sayang” .

Wie tak bisa berkata-berkata. Airmata mengalir di pipinya, senyum penuh haru terlukis di wajahnya yang memerah, Drew segera memeluknya demi mendengar kata “ya” dari pujaan hatinya itu. Mereka akan segera menikah.

Di sudut lain kota itu seorang perempuan tengah mematut-matut gaun pengantinnya sembari memandang takjub pada calon suaminya yang tampak gagah ketika mencoba kemeja dan jas untuk pernikahan mereka beberapa minggu lagi.

***

“Bangun Wie, sereal kamu udah disemutin tuh !”. Satu-satunya suara yang bisa membangunkan Wie di hari libur hanyalah suara ribut ibunya yang pasti sedang mengawasi anak buahnya yang sibuk mengemas kue untuk diantarkan ke berbagai toko di kota itu. Wie melangkah ke luar kamar dengan gontai.

“Mbak, ada undangan” salah seorang pegawai ibunya memberikan sepucuk undangan berwarna biru yang dipercantik oleh pita halus berwarna putih. Mata Wie terbelalak membaca nama yang tercetak  di halaman depannya. Ia kembali masuk kamar, terduduk lesu di ranjangnya. Air mata mengalir dari matanya yang masih sayu, namun bibirnya menghasilkan senyum dan seolah berkata “turut berbahagia”

Di belahan lain kota itu seorang perempuan ditemani calon suaminya dengan sumringah mengantarkan undangan ke rumah kerabat-kerabat terdekatnya.

***

Halo..

Ah setelah sekian lama akhirnya aku punya cukup alasan buat menyapa kamu. Terimakasih masih mengingat namaku dengan detil untuk dicetak di undangan pernikahanmu. Ya, walau tentu saja bukan sebagai mempelai perempuan yang akan dengan anggun duduk bersanding di sebelahmu. Selamat ya, aku turut berbahagia.

Aku punya kabar gembira. Aku juga akan segera menikah. Tuhan baik sekali ya, kalau saja ketika kamu mengirimi aku undangan itu aku masih sendiri, tak terbayang akan seperti apa pedihnya. 

Rasanya lucu tapi sendu membayangkan kelak setiap kamu terbangun di pagi hari yang kamu temukan di sebelahmu adalah perempuan lain, bukan aku, perempuan pertama yang menelan semburan hasil ereksimu. Dan yang kelak kubuatkan sarapan setiap pagi bukan pula kamu, lelaki pertama yang  lahap sekali menjilati cairan yang tumpah ruah di kemaluanku.

Rasanya lucu tapi sendu membayangkan suatu hari kamu akan mengumandangkan adzan dengan perlahan di telinga seorang bayi mungil yang lahir bukan dari rahimku, perempuan yang dahulu kau harapkan menjadi ibu untuk anak-anakmu. Dan nanti bayi yang menghisap susu dari putingku bukan pula bayimu, lelaki yang nakal sekali bila sudah bersandar di dadaku.

Sekali lagi selamat menempuh hidup baru. Untuk terakhir kalinya berdoalah untukku, semoga Tuhan berkenan memberiku keperawanan yang baru untuk dipersembahkan pada suamiku.

Wie

***

Pagi itu Drew menerima e-mail dari alamat e-mail Wie. Berisi sebuah surat yang tak hanya ditujukan ke alamat e-mailnya, tetapi juga ke alamat e-mail seorang lelaki yang tak dikenalnya. Drew membaca surat yang ternyata tak ditulis untuk dirinya tetapi sengaja dikirim ke e-mailnya itu dengan darah mendidih. Wie, perempuan yang dicintainya setengah mati ternayata terlalu kotor untuk ia nikahi. Ia mengirimi Wie pesan singkat yang mengatakan bahwa semua rencana pernikahan mereka akan batal. Lupa sudah ia pada cita-cita muluknya untuk menyempurnakan dan disempurnakan.

Di sudut kota itu, seorang perempuan menangis membayangkan bahwa kejujurannya akan berarti lebih banyak lagi kehilangan. Di sudut yang lain seorang lelaki menangisi kemalangan. Di sudut lain lagi seorang lelaki menangis karena harus memulai masa depan dengan kebohongan.
 

You Might Also Like

0 komentar