No More Panic Room, Please.

Minggu, Februari 21, 2016

Aku baru saja membaca tulisan dari Goenawan Mohamad tentang curahan hatinya ketika anak bungsunya akhirnya mengaku bahwa ia penyuka sesama jenis. Membaca tulisan itu rasanya seperti ada sesuatu yang mengguncang dengan keras bagian hati tempatku menyembunyikan kegelisahan beberapa hari ini, hingga akhirnya aku tak tahan, dan seperti biasa cara terbaik untuk melempiaskan semuanya adalah dengan menulis. Beberapa bagian dari tulisan itu rasanya menyentil sisi terbaik hubungan antar aku dengan orang tuaku.

Bukan. Aku bukan penyuka sesama jenis seperti Mita, yang kemudian menjadi nyawa dari tulisan Goenawan Mohamad tersebut. Dalam tulisan itu GM menuliskan bahwa : cinta orang tua pada anaknya adalah cinta yang tak bersyarat. Cinta seorang tua tidak pernah menuntut. Bagi seorang GM, begitulah cinta yang ideal. Kemudian aku merenung;

Merujuk pada pengertian cinta ideal versi GM, maka aku sungguh harus bersyukur sebab sedari lahir hingga saat ini aku tak habis-habis dihujani cinta ideal oleh kedua orangtuaku. Mereka tak pernah menuntut (selain memintaku menjalankan shalat 5 waktu dan tak berhenti membaca Al-Qur'an yang notabene adalah perintah agama). Seingatku, mereka tak pernah menuntut apapun. Semata yang mereka lakukan adalah memberitahuku batasan-batasan sesuai norma agama dan norma sosial yang ada. Mereka adalah orangtua ideal bagiku, tapi aku tak tahu seperti apa anak yang ideal bagi mereka. Mereka ideal karena menjalankan tugasnya sebagai orang tua. Menyayangi, membesarkan, memberikan kasih sayang, memberikan nafkah, dan berusaha 'selalu ada' untukku. Lalu seperti apa anak yang ideal ? anak yang penurutkah ? Apa yang harus aku turuti ? Mereka sungguh tidak pernah memberiku perintah yang bersifat prinsip dan berpengaruh secara masif dalam kehidupanku. Menjadi anak yang berbakti ? Tidak. Itu bukan perintah. Mereka bukan orang tua penuntut (kan sudah kubilang mereka pecinta yang ideal), kalau aku memutuskan untuk berbakti, maka itu semata karena aku tahu diri dan mereka sepenuh hati kusayangi. Kata berbakti itu sendiri cukup sulit kupahami, berbakti itu bagaimana ?

Memiliki orang tua dengan cinta se-ideal itu membuatku tumbuh menjadi anak yang 'bebas'. Tak ada satupun yang bisa mengintervensi cara hidup dan keputusan-keputusanku. Apa yang ada padaku hari ini, itu semua hasil keputusanku, sebagai orangtua mereka menasihati dengan sangat bijak. Pendidikan, cara bergaul, hobi-hobi yang kumiliki. Pecinta-pecinta idealku tak pernah mendikte aku harus jadi sosok yang bla bla bla dan bla, harus menjadi bla bla bla dan bla, harus pandai dalam hal bla bla dan bla.

Aku tidak pernah merasa dituntut sampai beberapa hari yang lalu. Tuntutan yang mungkin bisa dianggap memang sebuah keharusan, tapi bagiku sungguh membuat ngilu perasaan. Tuntutan ini memang rumit atau aku saja yang lebay ? tidak tahulah ! Hey, mereka bahkan tidak menyebutkan tuntutan ini secara gamblang, aku hanya berspekulasi. But, Wait, aku dan mereka (bapak khususnya) biasanya punya semacam chemistry yang membuat spekulasi memang benar demikian adanya di kepala masing-masing.

Jadi begini. Nenekku di Tasik beberapa hari yang lalu sakit. Bapak meminta aku yang sedang mengurus urusan pra-semester di Puwokerto untuk lekas pulang. Ya, memang aku harusnya jadi yang paling bisa diandalkan untuk urusan macam begini, Sebab kedua orangtuaku dan anak-anak nenek yang lain terlalu jauh kalau harus buru-buru pulang. Sebenarnya urusan pulang bukan masalah, toh aku juga berencana untuk kembali ke Tasik, kuliah baru akan dimulai sekitar 2 minggu lagi ketika kabar itu sampai. Tapi mendengar kabar itu aku justru tidak mau pulang, aku sempat berpikir untuk berbohong pada kedua orangtuaku, mengarang alasan apapun yang membuat aku seolah tidak bisa segera pulang. Baru kali itu, melihat nama bapak muncul di layar aku tidak antusias mengangkat telepon. Aku cemas, aku malas. Untunglah aku tidak perlu berbohong (sebab aku juga tidak tahu alasan sejahat apa yang membuat seorang cucu dengan nenek penyakitan tidak mau pulang untuk mengurusnya), nenek sembuh sebelum aku terpaksa datang.

Aku merasa jahat. Tapi dalam masalah ini aku jauh lebih suka dianggap jahat ketimbang harus terjebak di malam-malam gelisah dengan keringat dingin dan mata yang rasanya ingin menangis tapi tidak bisa. Kalau boleh menjadi lebay (lagi) dan so' mengerti psikologi, aku ingin bilang mungkin aku ini trauma. Beberapa tahun yang lalu saat kakek jatuh di kamar mandi hingga mendadak terserang stroke dan muntah darah aku merasa jadi anak kecil yang kuat dan pemberani. Aku berlari kesana kemari meminta bantuan tetangga, naik motor secepat yang aku bisa untuk memanggil dokter, membantu tetangga memegangi nenek yang malah histeris, lalu duduk di belakang mobil bak terbuka sembari membaca yasin menghadapi kakek yang sekarat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ketika kakek akhirnya meninggal aku bahkan cukup kuat untuk tidak menangis, aku belajar banyak tentang keikhlasan hari itu.

Ternyata bagaimanapun kejadian yang membuatku merasa kuat itu bukan kejadian menyenangkan, terus membekas dalam ingatan. Aku tidak tahu kenapa semenjak kejadian itu, tiap mendengar nenek (yang tinggal hanya berdua denganku) sakit, seolah aku akan kembali dilempar ke dalam keadaan panik seperti menjelang kepergian kakek dulu. Dan kali ini aku takut. Ketika nenek yang penyakit-penyakitnya tengah kumat sedang tidur nyenyak di malam hari, aku justru terjaga. Aku takut tiba-tiba nenek merintih kesakitan dan meminta bantuan sehingga aku harus kocar kacir kesana kemari, membayangkan itu ditambah pengalaman panic room beberapa tahun lalu tubuhku berkeringat dingin.

Ketakutan dan kecemasan itu tidak pernah sembuh sampai hari ini. Ketika kebetulan aku sedang berada di rumah dan nenek sakit, aku akan cemas sepanjang malam (padahal nenek sedang tidur pulas). Ketakutan itu bahkan sering terasa lebih menyiksa sebab di rumah nenek yang sekarang tak ada orang dekat yang bisa kumintai tolong, aku bahkan tak tahu di mana letak dokter dan rumah sakit. Maka jika kebetulan sedang di rumah dan nenek sakit, rasanya aku ingin cepat-cepat kembali ke Purwokerto, atau seperi sekarang, aku lebih memilih sendirian di kamar kost ketimbang pulang ke rumah. How cruel i am.

Aku tidak pernah tahu seperti apa sosok anak yang ideal bagi kedua orang tuaku. Ketika kini aku mendapat sedikit tanda, bahwa mereka ingin aku menjadi anak yang bisa diandalkan untuk menjaga nenek sebab mereka belum sanggup datang ke sini, aku justru terlalu payah untuk melakukannya. Maaf.


You Might Also Like

7 komentar

  1. Dit, jangan takut. Ada hal yg lebih menakutkan kalo kamu ga nemenin nenek kalo lagi sakit. Takut nyesel. Hihi kangen bgtttt!!! Cepet sembuh ya neneknya dita. Salam dari ebe.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus