KETIMPANGAN AKSES TERHADAP INTERNET DI INDONESIA

Senin, Maret 21, 2016



Berbicara tentang persebaran teknologi komunikasi dan akses internet di Indonesia rasa-rasanya semua orang akan mengamini bahwa di negeri ini masih terjadi banyak ketimpangan. Secara umum ketimpangan atas akses terhadap internet itu sendiri bisa terjadi di antara kelompok umur yang tua dengan yang muda, gender laki-laki dan perempuan, tingkat pendidikan tinggi dan rendah hingga kalangan berekonomi rendah dan berekonomi pas-pasan. 

Seseorang mendapatkan akses yang lebih terhadap internet berdasarkan pendapatan yang lebih tinggi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih berpengalaman, ras kulit putih, serta identitas gender sebagai pria (Howard et al., 2002). Namun apa yang diungkapkan Howard dan rekan-rekannya itu berlaku untuk konteks Amerika. Lalu bagaimana wujud ketimpangan terhadap akses internet di Indonesia? 

Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia dalam situs resminya menyebutkan bahwa saat ini Indonesia berada di urutan 8 pengguna internet terbanyak di Indonesia dengan jumlah pengguna sebanyak 82 juta jiwa. 80% dari jumlah tersebut adalah remaja berusia 18-20 tahun. Pertanyaan yang paling mungkin bergulir adalah seputar apa yang diakses orang-orang Indonesia ketika menggunakan internet. Data yang dihimpun We Are Social, sebuah lembaga survey berbasis digital menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam untuk mengakses media sosial. Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa 30% dari penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial.

Pertanyaan lain yang mungkin akan menyusul timbul adalah apa yang terjadi pada orang-orang yang sudah tak muda lagi? untuk menjawabnya boleh lah kita meminjam hasil penilitian Van Djik (1999) tentang kendala penggunaan new media pada orang-orang tua. Kendala tersebut adalah :
  • Orang-orang berusia lanjut dan minim keterampilan merasa terintimidasi oleh teknologi baru atau memiliki pengalaman pertama yang buruk ketika menggunakan teknologi baru tersebut : yang dimaksud dengan merasa terintimidasi di sini adalah bagaimana orang-orang tua merasa dirinya bukanlah bagian dari orang-orang yang dapat dan perlu mengakses internet. Seiring dengan perkembangan zaman dan digitilisasi berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan dengan cara lama yang mereka kuasai justru membuat mereka bingung.
  • Sulitnya akses terhadap komputer dan internet : orang-orang berpenghasilan rendah jarang mempunyai komputer yang dapat digunakan untuk mengakses internet di rumahnya. Sementara fasilitas komputer untuk publik masih sangat minim di negeri ini. Kalaupun ada yang memiliki komputer, masih ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk dapat mengakses internet, belum lagi masih eksisnya masalah sulit sinyal.
  • Ketidak-ramahan pengguna lain dan cara penggunaan yang tidak menarik
  • Kurangnya kesempatan penggunaan yang signifikan.
Di Indonesia sendiri masih ada satu masalah klasik yang masih sulit diatasi hingga menjadi kendala penggunaan teknologi baru oleh masyarakatnya. Masalah geografis. Ya, masalah sulitnya sinyal di beberapa di daerah.

Banyak dari kita yang mungkin pernah mengunjungi tempat dengan akses jalan menuju kesana yang boleh dibilang cukup sulit dan dihuni oleh masyarakat dengan kehidupan yang amat sederhana, di tempat seperti itu hampir bisa dipastikan sangat sulit menemukan sinyal untuk telepon seluler. Jangankan untuk mengakses internet, untuk sekedar mengirim pesan saja kita mesti berjuang menemukan posisi yang dilalui sinyal. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika menghabiskan waktu selama 5 hari untuk kegiatan bakti sosial di Desa Gandatapa, Wonososbo, Jawa Tengah.

Menurut saya keadaan ini tidak terlepas dari perhitungan untung rugi operator-operator penyedia layanan akses internet. Meskipun banyak operator di Indonesia tengah sibuk berpromosi sebagai operator dengan jaringan terbaik dan jangkauan terluas, tidak serta merta kata ‘luas’ itu memasukan daerah-daerah terpencil di dalamnya. Pembangunan sinyal BTS di daerah terpencil tentu membutuhka biaya yang tidak sedikit serta waktu yang lama mengingat akses yang sulit. Semua kesulitan itu tentu tidak berbanding dengan penggunaan yang akan ada di sana. Kebanyakan orang yang tinggal di daerah terpencil biasanya adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tidak merasa berkepentingan dengan perkembangan zaman kecuali keluhan seputar mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang semakin sulit.

Salah satu contoh real-nya adalah di tempat tinggal nenek buyut saya di Dusun Jagabaya, Desa Rajadatu, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketika berkunjung ke sana untuk pertama kalinya beberapa tahun lalu saya sedikit bingung dengan suasana di sana. Beberapa hari berada di sana bahkan jumlah pemuda yang saya lihat bisa dihitung dengan jari. Menurut penuturan nenek buyut saya, hampir semua pemuda setamatnya dari bangku SMP langsung pergi merantau ke kota-kota besar untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sehingga yang tertinggal hanyalah orang-orang tua yang menggantungkan hidup dengan bertani. Desa ini seperti desa yang tidak tersentuh pembangunan sebab hanya dihuni oleh orang-orang berusia lanjut. 

Dengan keadaan demikian tidak heran bahwa operator seluler enggan memperbaiki jaringannya di sana. Selama di sana saya kesulitan bahkan untuk sekedar mengirim SMS. Bagi orang-orang tua di sana itu mungkin bukan masalah yang serius. Namun menurut pandangan saya pribadi hal tersebut semakin memperbesar kesenjangan pembangunan di Indonesia. orang-orang tua dengan tingkat pendidikan rendah seolah tidak memiliki hak untuk menikmati manisnya perkembangan zaman yang tengah berlangsung dengan pesatnya. 

Beberapa waktu lalu ternyata dibangun sebuah pesantren cukup besar persis di depan rumah buyut saya. Tidak hanya belajar ilmu agama, di waktu pagi para santri pesantren tersebut diantar jemput menggunakan kendaraan operasional pesantren untuk bersekolah di sekolah umum. Beberapa bulan setelah pesantren tersebut beroperasi saya sempat berbincang-bincang dengan seorang santri yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Ia mengeluhkan tentang sulitnya mengakses internet di daerah tersebut, padahal ia sangat membuthkan untuk menyelesaikan tugas sekolah.

Obrolan singkat dengan santri itu kemudian membuat saya menarik kesimpulan bahwa bagaimanapun keadaan di suatu daerah, ketiadaan akses internet di era digital ini pada gilirannya akan menyulitkan pihak-pihak tertentu, terutama pihak-pihak yang sebelumnya sudah terbiasa untuk menikmati segala kemudahan yang ditawarkan oleh internet.

You Might Also Like

0 komentar