MEMAYU HAYUNING BAWANA, PESAN DARI INDURASMI UNTUK SELURUH UMAT MANUSIA
Rabu, Maret 23, 2016
Walaupun sejatinya ulang tahun tak lebih dari peringatan
bahwa waktu kita di dunia semakin berkurang, ulang tahun bagiku selalu
menyenangkan. Begitupun dengan menonton drama, tak pernah tak menyenangkan. Jadi
bisa menonton drama dengan gratis sebagai hadiah ulang tahun bak kesenangan
yang dilipatgandakan.
Minggu, 20 Maret 2016 pegiat kesenian dari Fakultas
Pertanian Universitas Jenderal Soedirman yang tergabung dalam Bezper (Bengkel
Seni Pertanian) menggelar sebuah drama musikal dengan judul Memayu Hayuning Bawana. Judul tersebut
berarti Mengindahkan Keindahan Dunia.
Dilihat dari judulnya, maka drama musikal yang berdurasi selama hampir 2 jam
ini tak jauh-jauh dari masalah alam. Secara luas Memayu Hayuning Bawana sendiri bisa diartikan mengutamakan
keselamatan, kesejahteraan kebersamaan serta mengusahakan untuk mengusir
keangkuhan dan keserakahan di dalam hati.
“Aku biarlah seperti bumi. Menopang meski diinjak,
memberi meski dihujani, diam meski dipanasi, sampai kalian sadar jika aku
hancur, kalian juga akan hancur” – Fiersa Besari.
Pertunjukan dibuka dengan prolog yang apik. dikisahkan
bahwa kehidupan di Indurasmi – sebuah negeri di ujung peta – berlangsung dengan
damai. Para penghuninya yakni kaum Gigan
(raksasa), Kronos (Manusia) dan Durmani (makhluk kerdil) hidup dengan
sumber daya alam yang cukup untuk menopang kehidupan sehari-hari mereka.
Semua ketentraman itu terusik kala para raksasa memiliki
hasrat yang tinggi untuk menguasai Indurasmi dan kaum manusia semakin haus akan
kekayaan. Pemimpin kaum raksasa dan kaum manusia kemudian bekerjasama untuk
menundukkan Kaum Durmani, sehingga
lahan-lahan mereka bisa dikuasi, dibakar, dan dijadikan kawasan industri. Di sisi
lain anak-anak muda Kaum Durmani yang
resah akan keadaan ekonomi yang kian sulit justru dipengaruhi untuk menambang
sumber daya alam secara membabi buta.
Pertunjukan terlihat sangat hidup dengan properti dan lighting yang memukau, meskipun di
beberapa adegan suara musik membuat dialog antar pemain menjadi kurang jelas
terdengar. Di sela jalannya cerita, penonton juga dimanjakan dengan pertunjukan
sand painting yang sarat makna.
Klimaks cerita terjadi ketika pembakaran lahan yang
dilakukan atas nama pembangunan justru membawa malapetaka. Udara menjadi
tercemar dan dapat membunuh siapa saja. Oksigen yang bersih menjadi barang
dagangan yang harus dibeli dengan sejumlah galoks
(uang) jika ingin selamat. Namun jumlah oksigen yang diperjual-belikan itu juga
terbatas, sehingga akhirnya para penghuni desa rela berkelahi bahkan hingga
membunuh satu sama lain demi mendapatkan oksigen. Meskipun sudah banyak korban
berguguran, beruntunglah di akhir cerita datang sekelompok tim kemanusiaan
memberikan pertolongan bagi mereka yang masih mampu bertahan hidup di
Indurasmi.
Menonton kisah negeri Indurasmi sesungguhnya bak menonton
diorama kehidupan di negeri kita sendiri. Tindak tanduk Kaum Gigan yang bermulut manis namun
sejatinya menyimpan sejuta muslihat hampir seperti tingkah orang-orang di negeri
ini yang mulutnya berbuih menjanjikan ini dan itu pada rakyat agar biasa
berkuasa, namun setelah mendapat apa yang ia kehendaki rakyat menjadi hal nomor
sekian untuk dipirkan, atau bahkan tidak dipikirkan sama sekali. Kaum Kronos, merekalah para pengusahan yang
gila akan laba. Bekerjasama dengan pemerintah sebagai pihak yang berkuasa,
mereka seolah tak mengindahkan segala resiko yang ada asal bisa menumpuk pundi
rupiah sebanyak-banyaknya. Sementara kaum Durmani, rakyat kecil yang tak bisa
berbuat banyak adalah korban dari segala keserakahan yang ada.
Drama musikal ini juga mencoba menyentil nilai kemanusian
yang semakin memudar serta lunturnya nilai-nilai karifan lokal sebagaimana Adat,
yang dalam film ini digambarkan dengan sosok orang-orangan sawah, justru
dilemahkan agar manusia bisa berbuat sekehendak hatinya. Sejatinya drama
musikal ini hadir untuk mengingatkan para penontonnya tentang keadaan alam
tempat tinggal manusia yang semakin mengenaskan dan juga eksistensi nilai kemanusiaan
yang semakin rapuh.
0 komentar