LIPSTIK
Selasa, April 26, 2016
Umurku 20 tahun. Usia yang wajar bagi seorang perempuan untuk belajar mempercantik dirinya dengan riasan. Itu berlaku untuk teman-temanku. Mereka pandai sekali memulas beragam kosmetik ke wajahnya, menciptakan penampilan yang sempurna dalam versi mereka sendiri. Aku? Aku bahkan tidak punya satupun alat kosmetik hingga beberapa hari yang lalu.
Sejak beberapa tahun yang lalu aku tahu diriku tidak suka mendapat perlakuan menyenangkan hanya karena urusan fisik. Perlakuan menyenangkan yang aku maksud adalah pujian cantik, rayuan-rayuan gombal dan perlakuan manis lain yang datang dari banyak orang terutama kaum adam. Come on, siapa yang tidak tersipu dengan semua itu? Bukankah ada selorohan yang berbunyi "Ketika kamu cantik, separuh dari masalah hidupmu telah terselesaikan".
Di awal masa remajaku, aku mendapati teman-teman yang berjalan di sebelahku sering digoda para lelaki. Aku dengan rambut yang berantakan dan pakaian yang asal-asalan tentu tidak pernah merasakan perlakuan semacam itu. Kadang aku bertanya pada diri sendiri "sejelek itukah aku?" Hingga aku semakin dewasa dan berusaha membuat diriku tampil sedikit lebih rapi, di bangku SMA barulah aku merasakan apa yang juga dirasakan teman-temanku. Tapi ternyata aku mendapati diriku keberatan. Layaknya manusia biasa, aku senang dipuji. Tapi aku tidak berminat dengan pujian tentang fisik. Kalau ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku mau mereka menemukan alasan selain apa yang ada pada tampilan fisikku. Tentu saja aku berkewajiban menciptakan alasan itu. Kepribadian, wawasan dan berbagai kemampuan. Tidak berarti sama sekali aku berusaha menumbuhkan diriku hanya untuk menarik perhatian para lelaki, tapi bagaimanapun aku lebih suka dihargai atas apa yang ada dalam kepalaku dan tercermin dalam tingkah laku, oleh siapapun itu.
Umurku 20 tahun, dan aku baru punya sebuah lipstik beberapa jam yang lalu. Lipstik itu aku beli dari online shop seorang teman. Lipstik dengan harga terjangkau, nyaman dipakai dan tahan lama. Yap, semua yang dibutuhkan newbie sepertiku.
Aku pernah berpacaran. Beberapa kali. Dan seingatku hampir semua lelaki yang pernah berpacaran denganku tidak pernah memprotes caraku berpenampilan. Aku berkali-kali bilang pada beberapa orang terdekatku, aku membiarkan diriku tidak secantik teman-temanku, biar laki-laki yang mendekatiku datang dari kelas yang berbeda, bukan laki-laki yang semata terpesona pada perempuan karena polesan bedak dan lipstiknya. Tapi melalui obrolan dengan bapakku (satu-satunya laki-laki yang sejauh ini bisa dipercaya), aku mengerti sudah kodratnya kaum laki-laki menjadikan penampilan sebagai penilaian atau pencipta kesan pertama. It's okay, kata beliau, selama lelaki yang mendekat itu tidak menjadikan penampilan sebagai kriteria utama.
So i think it's okay too untuk lebih merapikan lagi penampilanku. Siapa tahu kelak aku harus berkecimpung di dunia kerja yang mewajibkanku pandai merias diri. Aku hanya perlu menjaga diriku agar tidak jadi seperti boneka barbie, cantik tapi kosong otaknya. Lain kali kalau diriku tergoda untuk beli alat kosmetik lagi akan kuingat kata-kata Fiersa Besari "Daripada terus menerus beli kosmetik sekali-sekali cobalah beli buku. Fisik enggak abadi, tapi obrolah berbobot bisa bertahan sampai tua".
Yap. Pemikiran terus berkembang. Mungkin aku perlu menikmati alurnya, sambil tak henti menjaga diri agar tak menjadi seperti ikan yang mati.
![]() |
Sumber foto: Instagram |
2 komentar
Ciatttttt ciat😄.
BalasHapusLipstik?
Hapus