3 CUBITAN DI PERJALANAN

Senin, Februari 16, 2015

Masih belasan hari tersisa dari liburan semester pertama. Namun beberapa hal yang harus segera diselesaikan membuatku memilih bergegas kembali ke kota Satria. Liburan di rumah nenek usai sudah.

Pagi ini aku duduk menunggu mobil elf yang akan mengantarku ke Terminal Bus Banjar di sebuah pangkalan ojek di Cineam, Kabupaten Tasik. Beberapa tukang ojek berkumpul berbincang mengenai kisruh KPK dan polri ditemani gorengan hangat dan kopi. Diantara mereka ada seorang anak lelaki berusia kira-kira 15 tahun dengan gelagat yang aneh, seperti orang kebingungan. Melihatku duduk seorang diri ia datang menghampiri, ia menanyakan sesuatu padaku, namun aku tak tahu apa. Rupanya ia kesulitan berbicara, pengucapannya tak jelas, diperparah dengan tawa yang tak pernah tertinggal di ujung kalimat. Aku hanya menatapnya dengan bingung. Bocah aneh itu tak menyerah, terus saja bertanya padaku. Aku berusaha keras memahami isi pertanyaannya.




"Bade kamana ?" kurang lebih begitulah isi pertanyaannya. Artinya kurang lebih 'mau kemana'.
"Banjar" jawabku seadanya.

Tak lama datang seorang perempuan yang seusia denganku. Ia duduk di kursi kayu panjang yang juga kududuki, namun ia menyisakan jarak di antara kami. Si bocah aneh mendatangi wanita itu dan menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan padaku. Perempuan berjaket merah di sebelahku enggan menjawab, ia hanya memasang wajah masam untuk meresponnya. Pertanda tak mau bicara. Bukannya pergi, bocah itu malah duduk di tengah-tengah kami berdua.

"Ngomong ge hese, make hayang ngarayu awewe" komentar seorang tukang ojek, disusul tawa rekan-rekannya. Kalimat itu berarti 'Ngomong aja susah, pake mau ngerayu cewek segala'. Si bocah aneh menggaruk-garuk kepala sambil tertawa memamerkan giginya yang kuning kecoklatan. Sepertinya mental bocah ini agak terganggu.

Lalu ia menanyakan hal lain padaku. Ia mengajak aku dan si perempuan berjaket merah berbincang, membuatku bekerja keras memahami ucapannya yang tak jelas itu. Perempuan berjaket merah menggeser posisi duduknya, menjauhi kami. Sebenanrnya aku ingin melakukan hal yang sama, tapi aku yakin bocah aneh semacam inipun bisa tersinggung dan patut dihargai perasaannya. Aku berusaha terus meladeni, jika benar-benar gagal memahami ucapannya aku hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan.

Mobil yang kutunggu belum juga tiba saat bocah aneh itu berdiri dan begitu saja meninggalkan aku. Ia menyebrang jalan sambil memainakn tangan persis seperti anak kecil dan masuk ke sebuah mushola. Tak lama setelah itu ia keluar membawa seember air dan sebuah sapu lidi. Disiraminya dengan telaten pot-pot bunga di depan mushola. Bunga-bunga itu tumbuh subur dan cantik, pasti si bocah aneh rajin menyiraminya. Selepas itu ia mulai menyapu pelataran mushola sambil sesekali tertawa sendiri. Pemandangan itu membuatku terenyuh. Aku memandangnya aneh karena gelagat dan tubuhnya yang kumal. Ia mempunyai keterbatasan, namun di tengah keterbatasan itu ia memilih peduli dan mengabdi pada rumah Tuhan. Sedangkan aku ? Jangankan membersihkan, mampir saja sangat jarang. Mungkin di mata Tuhan aku jauh lebih aneh dari bocah itu. Tubuhku jauh lebih bersih, namun sebatas itu sajalah kepedulianku di tengah kesempurnaan fisik dan akal yang Tuhan berikan. Tak sedikitpun aku berpikir untuk membals budi. Aku begitu malu pada Tuhan dan diriku sendiri.

Tak lama mobil yang kutunggu tiba juga. Tepat satu jam perjalanan, aku tiba di Terminal Bus Banjar dan menaiki Bus tujuan Purwokerto. Bus berukuran tanggung yang bebas menaikkan dan menurunkan penumpang sepanjang jalan. Di dalam bus itu sudah ada beberapa penumpang. Aku duduk di kursi dekat pintu depan. Beberapa menit setelah bus melaju naiklah seorang ibu bertubuh tambun dan duduk di sebelahku.

Di dekat Kantor Walikota Banjar bus berhenti untuk menambah tekanan angin ban. Seorang bapak tua menghampiri bus itu dan menanyakan tujuannya pada kernet. Sang kernet ragu-ragu menjawab dan menaikan bapak tersebut. Pasalnya ia tampak seperti pengemis, pakaian yang melekat di tubuhnya hanya celana training dan kemeja coklat polos lusuh. Kakinya kotor dan hanya beralaskan sendal jepit murahan berwarna kuning. Ia tak membawa apa-apa lagi selain yang melekat di tubuhnya. Ia duduk di kursi tak jauh dari tempat dudukku dan si ibu bertubuh tambun. Saat bus kembali melaju kernet mulai menarik ongkos dari seluruh penumpang. Bapak tua itu lebih dulu ditagih ketimbang aku. Ia terlihat kebingungan ketika disuruh membayar. Dalam hati aku sudah berniat untuk membayarkan ongkos bapak tua itu jika ternyata ia memang tak punya uang. Tapi rupanya ia bingung bukan karena tak punya uang, namun karena gangguan pendengaran ia tak mendengar dengan jelas berapa nominal rupiah yang diminta sang kernet. Setelah mengetahui tarif yang harus dibayar ia mengeluarkan segumpal uang dari saku kemejanya. Ia punya banyak uang, kutaksir uang di tangannya lebih dari tiga ratus ribu, terdiri dari uang pecahan 20 ribu, 50 ribu dan 100 ribu.

Di perbatasan antara Banjar dan Mejenang mobil kembali berhenti untuk menunggu penumpang. Seorang kakek penjual gula aren naik ke dalam bus. Ia menawarkan barang dagangannya, gula aren asli seberat 3kg dengan harga 50 ribu rupiah. Semua penumpang menolak ketika ditawari, termasuk aku. "Mahal banget 50 ribu, di pasar 30 ribu juga dapet" tukas beberapa penumpang saat ditawari. "Tapi ini gula aren asli" balas si kakek tak kalah gigih menawarkan dangannya. "Gak beli deh, kemahalan. Belum tentu juga asli" Proses tawar menawar yang berlangsung selalu berakhir dengan ucapan semacam itu. Lain halnya yang terjadi saat si kakek menawarkan barang dagangan kepada si bapak tua. 

"Berapa ?" tanya si bapak tua.
"50 ribu, Pak. Ini gula aren asli. Rasanya manis gurih, saya gak bohong" timpal si kakek.

Bapak tua langsung meregoh uang di saku kemeja lusuhnya. Diberikannya selembar uang berwarna biru kepada kekek penjual gula aren.

"Kemahalan itu Pak" ucap ibu tambun di sampingku. Mendengar ucapan itu si kakek langsung turun dan menjauh dari bus. Buspun kembali melaju setelah beberapa orang penumpang naik.

"Bapak ditipu, di deket rumah saya yang jual gula aren segitu paling cuma 30 ribu harganya" tutur seorang lelaki berkumis yang duduk di belakang si bapak tua.

"Iya, mahal banget. Bapak mau-maunya beli. Kena tipu" ibu tambun di sebelahku tak mau ketinggalan berkomentar.

Beberapa penumpang yang duduk dekat si bapak tua itu bergantian memberi komentar, menganggap bapak tua begitu bodoh karena mau membeli gula tersebut. Awalnya si bapak tua hanya diam memperhatikan jalan di depannya, namun setelah ocehan melebar kemana-mana ia mulai bersuara.

"Saya tahu harganya kemahalan, wong istri saya juga tukang bikin gula aren. Tapi saya ngrasa rezeki bapak itu ada di saya. Saya ndak niat mbeli, saya niat nolong mumpung punya duit. Kasian toh kalo terus nawarin gula malah terus dituduh yang bukan-bukan. Gulane ndak asli lah, juale kemahalan lah. Kasihan" Pungkas si bapak tua dengan logat jawanya yang khas.

Ucapan itu cukup untuk membungkam semua mulut usil yang tadi begitu ribut mempermasalahkan harga gula. Padahal bukan juga uang mereka yang digunakan untuk membeli. Begitulah, kita seringkali menilai orang dari penampilan luarnya dan  memandang keputusan oranglain dari sudut pandang kita sendiri, seolah kita cukup pintar untuk menganggap mereka bodoh. Padahal mungkin kita tak lebih pintar dari mereka dalam memaknai kehidupan.

Pelajaran di perjalanan Banjar - Purwokerto tak berhenti sampai di situ. Memasuki daerah Wanareja ibu bertubuh tambun di sebelahku menghentikan bus dan bergegas turun. Akupun duduk seorang diri hingga memasuki daerah Karangpucung. Kernet bus datang dan duduk di sebelahku, membuatku sedikit risih. Ia adalah lelaki bertubuh kurus tinggi dengan rambut keriting panjang dan setengahnya diwarnai pirang seperti komedian Sule. Lelaki dengan wajah penuh jerawat itu mengenakan celana jeans lusuh dengan gambar kepala tengkorak di saku belakangnya dan kaos oblong berwarna abu-abu, persis preman pasar.

"Kerudungnya mana ?" tanyanya padaku. Aku menatapnya dengan bingung. Sejak dari rumah nenek tadi aku memang tidak mengenakan kerudung. Tapi apakah kernet ini sungguh tahu bahwa biasanya aku mengenakan kerudung ?

"Panas ya, jadi kerudungnya dilepas ?" imbuhnya kemudian.

"Loh, kan saya emang gak pake kerudung" tukasku.

"Oh, kayak preman aja gak kerudungan" ujarnya sambil tersenyum meledekku, kemudian melengos pergi ke bagian belakang bus untuk menarik ongkos dari penumpang yang baru naik.

Aku berbalik dan menatap punggung lelaki itu. Tak lama aku kembali memperbaiki posis dudukku dan mulai berpikir. Baru saja dalam hati aku bergumam bahwa gayanya seperti preman. Kini ia terang-terangan mengejekku seperti preman. Apa yang salah dengannya ? Seluruh auratnya tertutupi, sementara aku tidak. Jangan-jangan Tuhan juga mengucapkan apa yang dikatakan lelaki itu padaku, seperti preman !

Ah. baiklah. Aku harus segera memperbaiki diri sebelum Tuhan mencubit lebih keras lagi.

You Might Also Like

0 komentar