SEMUA BAIK BAIK SAJA, SETIDAKNYA BAGI KITA
Sabtu, Januari 24, 2015
Hari kian sore. Ganis duduk dengan gusar di tengah pendopo kampus. Wajah ketua baksos tahunan fakultas itu kian muram seiring dengan matahari yang kian mendekat ke peraduan. "Wid, gimana nih ? masa minggu ini gak ada rapat lagi ? bisa kacau time schedule kita". Widya yang menjabat sebagai sekretaris baksos tak menggubris, ia tengah asyik memandangi kolam dekat pendopo kampus yang beriak dipermainkan gerimis. Senyum kecut sesekali mampir di wajahnya. Lucu sekali menyaksikan dirinya berada dalam kesemrawutan ini. Kesemrawutan baksos yang kian ditinggalkan para anggota, mendapat tekanan dari para senior dan tercekat keterbatasan dana. Padahal awalnya ia mengikuti baksos hanya untuk pelarian, agar ia punya kegiatan dan tidak terus menerus mengurung diri meratapi nasib setelah cintanya diputuskan oleh lelaki yang setahun lebih ia pacari. Ihsan.
"Dit gimanaaa ?!" Rengekan Ganis yang penuh nada kebimbangan membuyarkan lamunannya. "Ya kalo gak ada mau gimana lagi ? pulang aja yuk" seperti biasa Widya menanggapi semuanya dengan santai. "gak apa-apa nih ?" Ganis gelisah. "Gak apa-apa, ayo pulang" Timpal Widya seraya bangkit dan melangkah pulang. Sesungguhnya sore itu ia memang sedang malas untuk mengikuti rapat. Ingatan tentang Ihsan selalu merusak semangat yang susah payah ia tumpuk seharian. Kadang ia menyasal karena segala tentang Ihsan membuatnya mengambil keputusan tanpa pikir panjang, termasuk membuatnya memilih maju menjadi sekretaris baksos, tugas yang sama sekali tak mudah.
----
Waktu menunjukan pukul 10 malam. Rapat antara pimpinan baksos yang kesemuanya adalah mahasiswa baru angkatan 2014 bersama para senior yang bertugas mengawasi berlangsung kian panas. "Kalian terlalu santai mempersiapkan baksos ini. Waktu tinggal seminggu lagi tapi banyak hal yang belum siap. Kalo gini terus mending baksos diundur aja jadi bulan depan !" Senior bermata sipit itu membuat suasana kian menegangkan. Widya, Ganis dan panitia-panitia lainnya hanya bisa saling beradu tatap. Mereka cemas.
Persiapan baksos sudah dimulai sejak 3 bulan yang lalu. Sejak perekrutan terbuka yang menetapkan Ganis sebagai ketua dan Widya sebegai sekretaris, diadakan rapat pleno rutin 2 kali dalam seminggu. Namun perjalanan sama sekali tidak mudah. Forum yang seringkali dibuat tegang membuat seleksi alam kian kencang. Panitia yang tadinya berjumlah 135 orang berkurang drastis menjadi 65 orang saja. Itupun tak semuanya sudi datang dan berlama-lama duduk mengikuti pleno. Alhasil pimpinan seperti Widya dan Ganis lah yang terus menerus mendapat tekanan. Setiap kali keduanya punya waktu untuk sekedar duduk-duduk santai di kantin kampus, tak ada kalimat lain yang dapat keluar selain keluh kesah tentang baksos. Melihat baksos yang tak banyak kemajuan kinerja mereka dan semua rekan panitia memang tak bisa dikatakan baik. Namun bukan berarti mereka hanya duduk dan diam. Setiap malam hingga subuh menjelang panitia yang tergabung dalam divisi acara memutar otak dalam rapat divisi untuk merumuskan konsep acara. Divisi yang bertugas mengumpulkan dana tak kenal lelah meraup rupiah demi rupiah, dari mulai berjualan makanan ringan hingga mengadakan kegiatan-kegiatan yang hasilnya menjanjikan mulai dari lomba volly hingga panjat tebing. Acara itu berlangsung satu hari, sejak pagi hingga bertemu pagi lagi. Lelah adalah sebuah keniscayaan bagi mereka.
Sementara divisi yang mengurusi akomodasi, transportasi dan perlengkapan kesana kemari membawa proposal dan surat peminjaman yang diterbitkan Widya untuk meminjam alat-alat yang tak mungkin didapat dengan cara membeli. Setelah berhari-hari bekerja keras akhirnya alat-alat utama seperti tenda pleton untuk tempat tinggal panitia di hari H kelak, 1 generator set dan 2 buah truk bisa didapatkan.
Di lain tempat, divisi humas hanya bisa mengurut-ngurut sendiri kaki mereka yang terasa pegal karena hampir setiap hari mesti survey ke desa sasaran baksos mereka. Sebuah desa di balik bukit yang perlu perjuangan untuk mencapainya mengingat medan yang begitu sulit.
"Apa sih yang didapat dari baksos ? capek iya, jadi gak punya waktu buat temen, pacar, keluarga, nilai kuliah terancam jelek, dicibir sana sini" Ganis, Widya dan beberapa panitia lain yang baru selesai rapat pleno hingga pukul 10 malam menggerutu. Tapi apalah arti celotehan semacam itu, selepas mengumbar lelah semua kembali tenggelam mencari apa saja yang bisa dikerjakan demi kelangsungan baksos. "Ayo operasi malam !" Seru Ifan dari atas motornya. Lelaki bertubuh gempal itu mengepalai divisi akomodasi, transportasi dan perlengkapan. Widya tersenyum kecut menanggapi ajakan itu. Yang dimaksud Ifan dengan operasi malam adalah mengendap-ngendap ke bawah lampu merah yang dipenuhi baligo dan diam-diam menggunting talinya. Baligi-baligo curian itu kelak akan dijadikan alas tidur panitia saat baksos berlangsung. Tanpa pikir panjang Ganis naik ke boncengan Ifan. Widya dan beberapa teman lain menyusul dengan wajah lelah yang tak bisa lagi ditutupi.
"Wid, kalo baksos jadi diundur lo mau gimana ?" Arif, salah satu panitia yang terhitung sangat loyal pada baksos bertanya tanpa memandang ke arah Widya. "gue capek Rif. Gue gak mau ikut" Balas Widya sekenanya. Pandangan gadis berkerudung itu menerawang jauh. Akankah semuanya berakhir sia-sia ? "Kemungkinannya nol koma nol persen Wid !" Seru Gugun yang rupanya mendengar percakapan Widya dan Arif. "Maksud lo ?" Ganis menimpali. "Rencana pengunduran baksos itu kemungkinannya nol koma nol persen ! Baksos harus jadi dilaksanain tanggal 18 Januari besok" mata Gugun menunjukan semangat yang menyala.
"Harus yakin ! Baksos tinggal 5cm di depan mata !" Jada, ketua divisi acara yang badannya kian legam dan kurus kering pasca mengurusi baksos ikut menambahi dengan gaya adegan di salah satu film yang sempat tenar.
"Jadi kemungkinan baksos diundur itu berapa persen teman-teman ?" pekik Ganis
"NOL KOMA NOL PERSEN !!!"
malam itu, lampu merah di perempatan kampus yang lengang menjadi saksi kejatuhan sekitar 10 anak muda yang usai, berganti jadi semangat utuh berlapis baja seperti yang mereka miliki 3 bulan lalu saat perekrutan terbuka. Cahaya bulan menyinari wajah-wajah mereka yang malam itu dapat sekedar melempar tawa. Memeluk erat keyakinan bahwa takkan ada yang sia-sia. Dan malam itu menjadi lengkap dengan tumbuhnya sebuah kesadaran bahwa mereka mesti bekerja lebih keras lagi. Mereka mesti berlari.
Sejak pekikan semangat malam itu, panitia menjadi makin solid. Baksos yang tak boleh diundur tinggal menghitung hari, Waktu tersisa 2 hari lagi. Berkat kerja keras semua kepala divisi malam itu rapat pleno di pendopo kembali sesak oleh anggota, Semua setia mengikuti proses walau pleno mesti berlangsung hingga pukul 4 subuh dan dilanjut oleh pleno berikutnya pada pukul 8 pagi.
Rapat ke rapat terus bergilir. Persiapan kian matang. Dan kalah sudah mereka yang menginginkan baksos diundur. "Alhamdulillah 8 juta !" Wajah riang Vera sang bendahara tampak berseri. Widya melempar senyum yang sama. "nol koma nol persen" bisiknya kembali meyakinkan diri sendiri. "nol koma nol persen, Ver" ungkap Ganis sembari membantu Vera merapikan tumpukan uang di hadapannya. Masalah dana yang sangat minim terselesaikan sudah.
Malam kembali menyapa. Rapat kembali diadakan di pendopo. Ganis sebagai ketua tidak lagi memimpin forum malam itu. perannya digantikan Alif yang terpilih menjadi koordinator lapangan. Semacam ketua pada saat hari H saja. Widya, Ifan, Gugun dan beberapa panitia lain sibuk mengemasi markas baksos yang berantakan dipenuhi berbagai peralatan. Selain alat untuk kelangsungan baksos, perlengkapan pribadi panitia yang akan dibawa berangkat besok turut berjejal di sana. "Gak kerasa ya, malam ini rapat pleno terkahir kita" Ucap Widya haru. Teman-temannya hanya tersenyum tanda turut lega.
Tiba-tiba seseorang masuk markas dengan sempoyogan. Alif. Wajahnya pucat, kedua tangannya mencengkram erat perut, matanya sayu. "Maagku kambuh. Aku nyerah. Aku gak bisa jadi koordinator lapangan" mahasiswa jurusan Hubungan Internasional itu begitu saja menghempaskan tubuhnya ke atas tumpukan tas milik panitia. Ia mengerang, tampak sangat kesakitan. Divisi p3k yang diteriaki Widya datang berlari dan memberi Alif pertolongan pertama.
Ambruknya Alif membuat suasana kembali tegang. Rapat pleno yang tengah berlangsung di pendopo sementara dihentikan. Diadakan rapat darurat mencari pengganti Alif yang masih berjuang melawan sakit di perutnya. Rapat yang cukup alot akhirnya menetapkan Aris, mahasiswa Sosiologi sebagai pengganti Alif. "Ayo lanjut rapat, udah jam 2 pagi. beberapa jam lagi kita mesti berangkat" tukas Ganis panik. Rapat pleno yang dihiasi wajah mengantuk seluruh panitia kembali dimulai. Dan baru dapat selesai pada pukul 5 pagi. 3 jam sebelum keberangkatan.
Widya tak sanggup lagi menahan sakit di kepalanya akibat kurang tidur. Tanpa bergeser dari tempat duduknya semula, ia merebahkan tubuh dan memejamkan matanya. Sedikit lagi, Dit. bisiknya meyakinkan diri sendiri. Di sampingnya tampak panitia lain juga merebahkan tubuhnya. Tak lebih dari 15 menit, Widya harus memaksa dirinya kembali bangkit, membantu anggota-anggota lain memindahkan barang ke atas truk.
Pada pukul 8 pagi seluruh panitia akhirnya bisa diberangkatkan ke desa tempat baksos akan dilangsungkan. 2 truk yang ditumpangi menggerung kuat menghadapi medan berupa tanjakan terjal. Widya yang duduk di samping supir dapat meilhat jelas raut wajah sang supir yang panik.
Setelah satu jam perjalanan yang menegangkan akhirnya rombongan sampai ke desa tujuan. Warga desa menyambut dengan hangat rombongan yang tak mau buang waktu untuk segera mendirikan tenda pleton berukuran besar untuk 65 orang.
Selepas berdirinya tenda kegiatan ramah tamah ke rumah-rumah warga segera berlangsung. Widya dan Ganis berjalan beriringan melewati jalan menanjak. Keduanya tak saling bicara, namun dalam hatinya masing-masing dari mereka mengucap syukur tak terkira karena kerja keras dan semua yang mereka korbankan berbulan-bulan tak sia-sia.
Lima hari berturut-turut berbagai kegiatan dilaksanakan oleh panitia. Widya selalu gembira setiap kali ditugaskan mengisi sosialisasi di sebuah sekolah dasar tak jauh dari tempat tenda berdiri. Ia suka sekali mendengar anak-anak di sana bercerita mengenai cita-citanya, melihat mereka berlarian saling mengejar dan menjahili sesamanya. Kegembiraan itu terbawa hingga ke dalam tenda pada malam hari saat seluruh panita berkumpul dan menyantap makanan sederhana yang disajikan divisi konsumsi. Kegembiraan itu mengobati lelah sebelum akhirnya Widya harus menyerah kalah pada tubuhnya sendiri dan menghabiskan satu malam di tenda p3k, terpisah dari rekan-rekannya yang kembali beradu dalam rapat evaluasi yang menegangkan. Namun selepas hari itu, bagi Widya dan seluruh panitia semua menjadi baik-baik saja, setidaknya mereka tahu bahwa kehidupan yang bersahaja itu masih ada. Orang-orang tulus yang membukakan pintu tanpa peduli kita siapa dan darimana masih tersisa.
0 komentar