PULANG
Senin, April 06, 2020
Ditulis 5 tahun lalu, kali terakhir pulang, kali pertama belajar menerima bahwa kadang kala hal paling menyenangkan sekalipun hanya tersisa untuk dikenang.
Hari itu di Jakarta, Juli 2015.
Jam digital yang terpasang di ruang tunggu Terminal 2B
Bandara Soekarno Hatta menunjukan pukul 09.40. Saya kembali menatap dengan
senang angka 10.00 yang tertera pada tiket di tangan saya. 20 menit lagi.
Tiba-tiba saya terkesiap, bukankah harusnya penumpang
sudah boarding 30 menit sebelum
keberangkatan? Keheranan saya dibayar kontan. Seorang perempuan yang duduk
entah di mana, melalui pengeras suara mengatakan bahwa pesawat yang akan saya
tumpangi mengalami keterlambatan. “Pesawat masih tertahan di Surabaya karena
cuaca buruk”, imbuh perempuan itu. Saya memasukkan kembali tiket ke saku jaket, saya baca lagi buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta
Toer yang sejak 1 jam yang lalu menjadi teman saya menunggu.
Setelah hampir 1 jam lagi menunggu, perempuan di balik pengeras
suara kembali menyapa. Ia menyampaikan ucapan maaf kepada seluruh penumpang
karena penerbangan ke Pontianak masih belum bisa diberangkatkan hingga 2 jam ke
depan.
Penumpang lain yang duduk di sekitar saya mulai
menggerutu. Saya hanya tersenyum tipis melihat kekesalan mereka. Saya sendiri sejujurnya lelah menunggu, tapi apalah
artinya penantian yang hanya 3 jam ini dibanding apa yang sudah saya lakukan
selama 4 tahun. Ya, sejatinya saya telah menunggu penerbangan ini selama 4
tahun.
4 tahun yang lalu, setamat SMP, orangtua saya mengirim saya untuk bersekolah di
Ciamis dan tinggal bersama nenek. Orang tua saya sendiri sudah 8 tahun berada
di Kota Khatulistiwa itu dan tidak pernah pulang ke tempat asal kami di Bogor.
Alasannya klasik, tiket pesawat mahal, padahal jumlah kami sekeluarga ada 5
orang – Bapak, Ibu, saya dan 2 orang adik.
Sejak 4 tahun yang lalu itu pula saya menjadi anak rantau
yang tidak pernah pulang. Komunikasi saya dan orang tua di Pontianak hanya
melalui ponsel, tidak ada tatap muka sama sekali. Hal itu yang membuat saya
hanya bisa menanggapi dingin teman-teman di kampus tempat saya berkuliah
sekarang yang sering mengeluhkan susuahnya jadi anak rantau. Padahal mereka
jauh lebih beruntung karena bisa pulang sesering yang mereka mau. Kalaupun saya
mudik, saya pulang ke rumah nenek. Pulang yang sebatas rutinitas dan selalu membuat saya tak sabar untuk segera angkat kaki lagi.
Memasuki
jam kedua keterlambatan, perempuan di balik pengeras
suara itu mempersilakan penumpang pesawat yang terlambat untuk mengambil
kompensasi keterlambatan. Kompensasinya adalah sekotak nasi dengan lauk ayam
teriyaki. Saya memilih untuk tidak mengambil jatah makan saya. Hari itu masih
Bulan Ramadhan, walau sesungguhnya saya lapar dan sedang tidak puasa karena menstruasi tetap saja risih rasanya
untuk makan siang disaksikan banyak orang.
Saya memutuskan
untuk berjalan ke dinding kaca yang mengarah ke lintasan pesawat. Deru mesin pesawat terdengar pelan. Ingatan saya terlempar
ke 4 tahun yang lalu, ketika saya tak lebih dari bocah 15 tahun yang kebingungan seorang diri
menunggu di Bandara Supadio, Pontianak. Kala itu mata saya tak lelah memandang ke segala arah,
tentu saja karena saya tak tahu lagi apa yang harus saya perbuat.
Hari itu saya tidak tahu mengapa saya tidak takut terbang
ke Jakarta seorang diri. Saya hanya takut tidak bisa berjumpa kedua orang tua
saya lagi. Diam-diam saya berdoa agar sesulit apapun keadaannya nanti,
saya dapat kembali lagi ke tempat keberangkatan pertama
yang memaksa saya menjadi mandiri.
Tuhan menjawab doa saya
hari ini, melalui suara
perempuan di balik pengeras suara, ketika ia menginstruksikan saya
dan puluhan penumpang lain untuk
naik ke pesawat. Akhirnya saya pulang.
0 komentar