DRAMA DI KAMAR KOST
Minggu, Januari 04, 2015
Hujan yang turun dengan riang sejak sore membuat tubuhku menagih untuk menempel pada tempat tidur lebih awal. Telepon genggam kuletakkan di atas lemari, aku tak ingin berurusan dengan siapapun di malam yang begitu melenakan, terutama pada berondongan pertanyaan terkait pekerjaan-pekerjaan organisasi yang kian lama kian memuakkan.
Kutarik selimut sebatas lutut, kupejamkan mata, merasakan indahnya berbaring di kamar yang bertahun-tahun sudah aku tinggalkan. Di luar kamar kedua adikku ribut entah memperebutkan apa. Mungkin remote televisi, seperti yang selalu bapak ceritakan di telepon kala aku masih berada jauh dari rumah. Beberapa menit kemudian sura bising dua bocah itu kian tak terdengar. Ah, mana mungkin mereka berdamai begitu cepat, rupanya kantuk sudah memonopoli kesadaranku. Aku tertidur saat jarum jam bahkan belum menunjukkan pukul 8 malam.
Hangat. Tubuhku terasa lebih hangat dari sebelumnya, rasanya nyaman. Susah payah aku mengangkat kelopak mataku. Rupanya bapak membetulkan letak selimutku. Ia tak berubah, sama seperti ketika aku kecil, ia selalu masuk ke kamarku setiap malam untuk membetulkan letak selimut dan sedikit mengusap kepalaku. Mataku tak kuasa terbuka lebih lama, Aku kembali bercumbu dengan gelap. Namun aku tahu persis apa yang sedang bapak lakukan. Ia pasti tengah menggelar sajadah tepat di sebelah ranjangku, bersila di atasnya dan mulai mengaji dengan suara yang bagiku sangat menyejukkan. Suara yang membuatku jatuh cinta pada Al-Qur'an dan tak rela jika tak mengaji sehabis maghrib sehari saja. Suara yang selalu mampu memanggilku untuk duduk di pangkuannya ketika tengah sibuk membuat seisi rumah berantakan di waktu kecil dulu. Dalam tidurku aku tersenyum demi mendengar lantunan bapak yang pasti akan menghabiskan satu juz malam ini. Walau kantuk sialan ini membuatku hanya sanggup menikmati seperempatnya.
Pukul 2 pagi aku mendengar suara sesenggukan ibu di kamar sebelah. Ia tak pernah bosan menangis merayu Tuhan agar senantiasa melindungi dan menganugerahkan yang terbaik pada ketiga anaknya. Seolah airmatanya takkan pernah kering, walau seringkali terkuras menangis kecewa karena tingkah aku dan kedua adikku. Dalam tahajudnya ibu meminta agar keluarga ini tak lagi tercerai berai, ia ingin aku selalu tinggal, setidaknya agar bisa berdiri bersebelahan di belakang bapak ketika shalat maghrib berjamaah. Aku kembali terpejam dengan airmata yang tak terasa mulai membasahi pipi.
Paginya, aku keluar kamar dengan gontai, melangkah menuju kamar mandi. Dan rumah ini memang tak banyak berubah. Seperti ketika aku masih sekolah dulu, tiap pagi sebangunnya dari tidur selalu ada 4 gelas teh manis hangat di meja dapur. Pagi tiu tiga gelas sudah kosong. Ibu yang maniak sapu sedang asyik dengan benda kesayangannya di halaman rumah. Bapak sudah berangkat ke tempat kerja, kedua adikku sudah sedari tadi pergi ke sekolah. Di tempat cucian piring, peralatan makan kotor masih menumpuk. Yap, pekerjaan rumah itu selalu jadi langgananku sejak dulu.
Ah ibu... maaf aku tak bisa membantumu mencuci piring. Tak menghabiskan teh yang kau buat. Tak merapikan kamar tidur. Tak menggenapi doamu untuk sekedar dapat shalat berjamaah. Aku rindu drama pagi yang sibuk di dapur rumah itu. Di sini, di kamar kost yang belum kurapikan ini aku hanya mampu mengenangnya, tersenyum sebentar lalu sesenggukan sendirian.
Pak.. aku punya pengakuan. Aku jarang mengaji lagi di sini. Tegur aku seperti dulu, agar aku tak melepas semakin jauh. Di kamar kost yang beraroma lavender ini aku hanya bisa merenung, menatap pada Al-Qur'an dan membiarkan rindu terus menikam.
Bagiku, pulang tak selalu tentang rumah. Namun tentang penghuni di dalamnya, tentang menemukan kehangatan dan senyum paling tulus yang pernah ada. 4 tahun sudah, aku mencari jalan pulang dan tak pernah sampai, malah terlempar kian jauh. Tak ada yang bisa disalahkan, pun tidak sang masa depan yang membuatku harus mengubur mimpi untuk pulang, sebab pulang membuthkan banyak uang yang sama dengan menggadaikan masa depan. Pendidikan.
0 komentar