SEBUAH PERASAAN MEWAH

Selasa, Maret 17, 2015

Aku tahu aku boleh terus-menerus menangis untuk melampiaskan luka perasaan. Aku boleh bermalas-malasan untuk menghindari hidup yang singkat ini dari lelah berlebihan. Aku boleh meratapi apa-apa takdir Tuhan yang tak kusukai hingga sebagian besar jam di hari-hariku adalah tentang mengurung diri. Yang tak boleh kulakukan adalah melupa. Melupa bahwa waktu takkan berhenti barang sedetikpun untuk menungguku sembuh dari segala kejatuhanku. Aku tak boleh berharap bahwa waktu akan melambat walau hanya seper-sekian detik untuk memaklumi segala ocehan yang kian menggila di dalam rongga kepalaku.



Hari ini, genap 3 tahun sejak kematian kakek yang selalu menyelamatkanku dari omelan galak bapak dan ibu. Disaat-saat terakhirnya, ketika semua orang memintaku membisikan sesuatu ke telinga almarhum yang tengah koma sementara darah dari pembuluh darah yang pecah terus keluar dari mulut dan hidungnya, tiba-tiba aku menjadi demikian percaya diri untuk menjanjikan banyak hal. “Kakek boleh pergi kalau udah gak suka di sini, biar nenek kakak yang jagain. Nanti kakak bakal lulus UN dengan nilai yang bagus, kuliah di PTN, dapet beasiswa, jadi sastrawan, jadi penulis hebat dan jadi jurnalis terkenal biar kakek bangga” .

Beberapa menit setelah bisikan itu almarhum mangkat. Tepat di ulangtahunku yang ke 16, beliau pergi dengan menghadiahkan setumpuk pelajaran tentang keikhlasan dan ketabahan.

Hari ini setelah 3 tahun berlalu aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apa yang telah kulakukan dengan janji dan hadiah itu ? jawabannya adalah : tak ada. Aku lulus UN dengan hasil seadanya, kuliah di PTN namun merasa belum layak untuk beasiswa macam apapun, jadi sastrawan, penulis hebat dan jurnalis terkenal ? lihatlah tulisan-tulisan lain dari blog ini, semuanya kosong tak berisi dan lebih nampak seperti ratapan cengeng. Dan yang paling sederhana tentang menjaga nenek, aku justru lebih sering merepotkannya ketika mudik, ia selalu memperlakukanku bak tuan putri, dan aku kian tak tahu diri dengan sungguh-sungguh memainkan lakon sang putri. Pusat alam semestaku telah berubah. Tak lagi tentang prestasi dan berusaha kembali pada kedua orangtuaku yang 4 tahun sudah tak kutatap wajahnya. Cinta adalah perkara yang paling sering kupikirkan dibanding hal apapun di dunia ini.

Hari ini, genap 19 tahun sejak hari dimana ibu mempertaruhkan nyawanya untukku, aku tahu aku tak banyak membantu. Setelah dulu membuat ibu berjuang bermandikan darah dan peluh agar aku bisa menjejak muka bumi, kini giliran bapak yang kubuat merasa tercekik setiap hari karena harus membiayai hidup, gengsi dan kuliahku yang kian melangit saja kebutuhan dan harga-harganya. Tentang hidup, kadang aku lupa apa tujuannya.

Namun aku merasa harus hidup ketika melihat orang-orang di sekitarku ada dalam keadaan yang menyedihkan. Gelandangan, orang gila, orang-orang tua dengan barang dagangan yang tak laku. Aku tak punya ambisi untuk jadi orang kaya, namun setiap kali melihat keadaan menyedihkan di sekitarku aku merasa aku harus kaya untuk dapat membantu mereka. Memang tak perlu menjadi kaya untuk memulainya, namun ketika ada deretan nominal uang di buku tabunganku dan banyak makanan enak di dapur rumahku, akan lebih mudah untuk membantu dan semakin banyak kesenangan yang bisa kuhadirkan untuk menghapus wajah menderita orang-orang di sekitarku.

Tentu Tuhan tak sedang bergurau ketika membuatku selama 4 hari tinggal di rumah seorang janda miskin di  sebuah titik kecil Jawa Tengah dengan kondisi hidup tak layak dan tempat tinggal yang terlalu kotor untuk manusia, juga ketika harus melihat dengan mata kepala sendiri petani-petani tanpa tanah yang terjajah oleh negaranya sendiri, hidup dipenuhi rasa takut; berbagai macam takut. Melihat semua kejadian itu membuatku bersyukur bahwa orangtuaku memang tak membesarkanku dengan kehidupan yang serba mewah, tetapi mereka selalu menyelipkan sebuah perasaan mewah dalam hatiku. Perasaan yang jarang sekali didapatkan anak lain, ketika mereka sengaja menghentikan langkah kakek tua penjual pisang dengan pisang yang nyaris busuk karena berhari-hari tak laku. Mereka tak punya uang untuk membayar pisang itu lebih dari seharusnya, namun mereka membawa kakek tua itu masuk ke rumah, menyuguhkan minuman dan makanan ala kadarnya, mengajaknya bergurau dan membiarkannya isitrahat. Pemandangan itu kusaksikan setiap hari dengan pedagang-pedagang yang hampir selalu berganti setiap harinya sebelum keluargaku pindah ke Kalimantan dahulu.


Aku benci mendapati diriku iba pada kesusahan orang lain di sekitarku namun di sisi lain aku tak berdaya untuk membantu. Maka, terimakasih Tuhan, di 19 tahun usiaku aku tahu untuk apa KAU menciptakanku. Aku harus menjadi mampu dan membantu !

birthday card made by Nadya Azaniel. Big thanks for her :)

You Might Also Like

0 komentar