MISKONSEPSI FEMINISME; TENTANG PARA FEMINIS DAN IDE IDE PERNIKAHAN

Jumat, Oktober 21, 2016



“Kalau orang yang gak mau nikah itu masuknya ke dalam kelompok feminis yang mana, Dit?” tanya seorang teman selepas saya bercerita tentang 4 kelompok besar feminis di dunia. “Si A kan feminis tau, soalnya katanya dia gak mau nikah” di lain kesempatan seorang teman membawa-bawa hal yang nyaris sama ketika asik bergosip di pojok kelas. Berbicara tentang feminis dan pernikahan, benarkah demikian? Benarkah feminis selalu menolak ide-ide pernikahan? Benar juga kah bahwa semua yang tidak ingin menikah pasti merupakan seorang feminis?

Secara etimologis feminisme sendiri berasal dari bahasa latin, femina, yang berarti perempuan. Secara sederhana feminisme dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut June Hannam, kata feminisme berarti:

  1.  Pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin dengan posisi perempuan berada di bawah laki-laki.
  2. Keyakinan bahwa kondisi perempuan terbentuk secara sosial dan oleh karena itu dapat dirubah.
  3. Penekanan pada otonomi perempuan.

Terbentuknya kelompok feminis ini tentu saja dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya permasalahan gender dimana perempuan dipandang sebagai kaum yang lebih rendah derajatnya daripada laki-laki. Kondisi ini diperparah oleh iklim patriarki yang jelas sangat merugikan perempuan.

Pernikahan, dalam konteks Indonesia khususnya, seringkali melanggengkan pandangan tersebut. Pernikahan seolah menjadi semacam pengukuhan bagi laki-laki untuk mengontrol perempuan yang berstatus sebagai istrinya. Pernikahan dipandang sebagai tempat suci yang harus dimasuki perempuan, dan perempuan yang tidak menikah atau bercerai dengan pahit harus menerima sanksi sosial yang dijatuhkan kepada mereka.

Menilik kondisi di atas, adalah wajar bahwa ide-ide tentang pernikahan seringkali menjadi sasaran kritik para feminis. Pernikahan yang membuat perempuan ‘menghamba’ kepada lelakinya dan didomestikasi sedemikian rupa, serta tidak diberikan hak untuk mengembangkan dirinya di luar rumah adalah konsep pernikahan yang perlu dirubah. Selama pernikahan tetap memberikan hak-hak kepada kedua belah pihak sebagai manusia yang merdeka serta terdapat konsensus di dalamnya saya secara pribadi menganggap tidak ada alasan bagi para feminis untuk menolak ide-ide ini. 

Ide pernikahan yang ditentang oleh para feminis adalah pernikahan yang dijalankan hanya dengan mengikuti konstruk pernikahan ideal menurut masyarakat, sementara konstruk sosial itu sendiri masih didominasi oleh sifat-sifat patriarki. Pernikahan semestinya dijalankan atas kesepakatan kedua belah pihak. Tentu saja tidak jadi masalah seorang perempuan hanya mengurusi urusan domestik sementara suaminya berkarir dengan lapang di luar rumah selama itu merupakan kesepakatan bersama dan baik si perempuan maupun laki-laki tidak merasa dirugikan oleh kesepakatan tersebut. Yang menjadi masalah adalah ketika salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan, harus menelan mentah-mentah tugas baru mereka sebagai suami atau istri sesuai yang dikehendaki oleh orang-orang di sekitar mereka. Tidak semua laki-laki pandai mencari uang sebagaimana tidak semua perempuan pandai memasak. Pada gilirannya laki-laki dan perempuan harus bisa melakukan hal-hal yang dapat membuat mereka survive di dunia tanpa bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Mendomestikasi perempuan sama saja menyuguhi mereka dengan resiko hidup melarat dan akan mengalami banyak kesulitan ketika laki-laki yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka meninggalkan mereka dengan alasan apapun.

Menyedihkan melihat bagaimana banyak perempuan seusia saya mulai mengidamkan pernikahan dan seolah menjadikan itu sebagai cita-cita terakhir mereka. Mempersiapkan diri menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak tentu saja merupakan cita-cita yang mulia. Tapi ketika angan-angan itu membuat mereka abai akan berbagai potensi lain yang mereka miliki tentu adalah suatu kemubaziran. Berharap menikah agar kemudian bisa hidup damai di bawah ketiak laki-laki tidak seharusnya tertanam di benak perempuan manapun sebab hidup ini tidak seindah kartun-kartun Disney yang ketika 2 tokoh utamanya berhasil bersatu maka ceritanya akan tamat dengan bahagia. 

Kesimpulan yang bisa ditarik dari tulisan ini adalah bahwa para feminis menolak relasi patriarkis dan dominasi oleh laki-laki dalam pernikahan. Feminis tentu boleh menikah sebagaimana perempuan yang keberatan dirinya disebut feminis juga berhak untuk menolak menikah dengan berbagai alasan yang mereka yakini masing-masing. Memutuskan menikah atau tidak menikah adalah kehendak bebas setiap individu, sementara melawan dominasi patriarki adalah sesuatu yang harus tertanam dalam kesadaran setiap individu. Karena sejatinya baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama manusia dan mereka setara, hanya alat kelamin yang membedakan keduanya.



Referensi:

You Might Also Like

0 komentar