TERIMAKASIH, PURWOKERTO

Senin, September 23, 2019

2014, hampir 5 tahun yang lalu, saya tidak bisa tidak mengeluh atas hidup. Bagaimana harus saya jelaskan sedihnya memulai kehidupan kuliah benar-benar hanya ditemani diri sendiri? Berbahagialah mereka yang diantar dengan penuh cinta dan doa oleh kedua orang tua. Kala itu saya hanya punya diri saya sendiri dan 2 koper yang harus ditarik turun dari sebuah bus butut. Berbahagialah mereka yang bisa bertanya "Enaknya sewa kamar kost di mana?". Kala itu yang saya punya hanya bayangan saya sendiri di cermin kecil, berusaha yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

2019, hampir 5 tahun lamanya, saya selalu pulang ke kamar yang sama. Satu-satunya tempat sembunyi yang saya punya. Kamar tak seberapa, di sebuah kota yang memaksa saya mengeluarkan semua keberanian yang saya punya. Sebuah kota yang membuat saya pada akhirnya tak ingin pergi kemana-mana.

5 tahun memang bukan waktu yang terlalu lama. Tapi bagaimana saya harus mulai menceritakan semua manis dan getir yang membuat saya demikian tak rela untuk mengatakan 'sampai jumpa'?

Kota ini pernah menjadikan saya mahasiswa yang lahap membaca buku apa saja. Kota ini pernah menjadikan saya mahasiswa hampir dewasa yang mencoba memantaskan diri untuk banyak kelompok manusia. Kota ini pula yang pada akhirnya membuat saya sadar bahwa saya tak benar-benar tahu mau jadi apa.

Kota ini pernah saya kelilingi sambil bersiul riang di atas sepeda motor, tak bisa berhenti memasang senyum khas orang jatuh cinta. Kota ini pernah saya kelilingi dengan hati yang menjerit dan air mata yang tak bisa diatur keluarnya. Kota ini pula yang pada akhirnya membuat saya lebih siap atas suka dan lara yang sudah berbaris rapi selang-seling di depan sana.

Kota ini memperkenalkan saya pada orang-orang atheis, gay, lesbi, hingga depresi. Kota ini lalu menjadi tempat saya harus melawan semua keinginan untuk bunuh diri. Hanya di kota ini saya pernah menjadi manusia dengan setinggi-tingginya gengsi. Hanya di kota ini pula saya pernah sengaja lupa pada harga diri hanya agar bisa tetap hidup hingga esok hari.

Kota ini melihat saya jatuh. Kota ini juga yang mengizinkan saya bermain-main hingga akhirnya sembuh.



Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali saya menangis karena rindu rumah. Kota ini menyadarkan saya bahwa apa yang pernah saya rindukan bertahun-tahun lamanya sudah tak lagi di tempatnya. Keluarga saya punya dunia baru yang tak menyertakan saya di dalamnya, pun saya tak pernah benar-benar ingin untuk ikut serta. Saya tak pernah lagi merasa ingin pulang menemui kedua orang tua, saya sepenuhnya menyadari bahwa kami terlalu naif untuk mengaku bahwa pada satu sama lain hanya saling menyebabkan luka.

Pada kota ini saya ingin menghabiskan seluruh hidup saya. Menabung pengalaman dan semua cerita seru seperti yang sudah saya lakukan hampir 5 tahun lamanya. Tapi mana mungkin hidup membiarkan manusia bahagia selamanya?

Malam ini, setelah sekian lama, saya sesenggukan lagi di sudut kamar. Kamar tak seberapa yang tak akan bisa lagi saya masuki semaunya. Hidup berlanjut dan waktu tak ingin saya lebih lama sembunyi di kota yang terlalu nyaman ini. Esok, dengan berat hati, saya harus pergi. Entah kemana, tapi tak boleh lagi di sini.

You Might Also Like

0 komentar