#30DaysWritingChallenge Day 3 - A Memory

Rabu, September 16, 2020

Apa yang paling kamu kenali dari orang-orang yang kamu sayangi? Caranya tersenyum dan tertawa? Binar mata ketika sedang membicarakan hal yang disuka? Atau perbuatan kecil yang sanggup membuatmu merasa berharga sekalipun di waktu-waktu paling penuh lara? 

Aroma. Saya justru paling sulit melupakan aroma. Bertahun lamanya tak jumpa saya masih ingat aroma tubuh ibu, bapak, dan adik-adik saya, termasuk parfum yang saban hari dipakai oleh mereka. Saya enggak akan terlalu banyak bicara kalau pasangan saya mengganti model rambut, cara berpakain, atau apapun. Tapi saya akan mencecar "IH KOK BAUNYA BEDA?" ketika ia mengganti parfumnya, karena rasanya saya seperti dipaksa menyetel ulang semua memori dan cara mengenalinya. 




Siang itu saya mencium aroma tubuh yang berbeda dari kakek saya. Saya mengernyitkan dahi sebelum akhirnya memutuskan untuk maklum. Stroke ringan yang menyerangnya hampir setengah tahun lalu memang membuat kakek malas betul mandi. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk duduk manis di depan TV.

"Zodiak kamu apa?" tanya kakek tiba-tiba ketika sebuah acara di TV sedang menampilkan ramalan zodiak. 
"Pisces" jawab saya, "10 hari lagi ulang tahun!".
"Oh, kasihan" jawab kakek dengan tatapan mata yang sungguh tak saya kenali apa maknanya.
"Kok kasihan? Kalau aku ulang tahun kan kakek janji mau kasih laptop baru? Gak jadi ya?" Jawab saya sedikit cemberut.
Kakek hanya tersenyum. Tak lama ia tertawa karena saya berteriak heboh kejatuhan cicak. Pertanda sial kata orang-orang.

Hari-hari setelahnya aroma tubuh kakek selalu berbeda-beda, tapi sama sekali tak pernah kembali ke aroma yang saya kenali. Ia juga punya kebiasaan baru, berdiri menatap ke luar jendela untuk menyambut saya setiap pulang sekolah. Ia selalu tersenyum, senyum manis yang tidak simetris karena stroke sialan itu. 

Pada suatu Sabtu kakek mengganggu tidur siang saya. Ia masuk ke kamar saya dan menyuruh saya mengeluarkan motor ke halaman karena hendak mencucinya. "Aduuuh, nanti aja dibawa ke tempat pencucian" rengek saya yang masih enggan membuka mata. Tapi ketika saya mencium aroma parfum yang biasa kakek gunakan untuk pergi ke acara-acara penting saya berhenti protes. Segera saya bangun dan mengerjakan apa-apa yang diperintahkannya. Girang betul saya mencium kembali aroma yang saya kenali dari tubuhnya. 

"Si Ega mau dipakai jalan jauh, jadi harus dimandikan dulu" Ega adalah nama yang kakek berikan pada motor Vega R kesayangannya yang sejak ia sakit sudah resmi jadi milik saya. 
"Sekalian bawa ke sini golok yang ada di bawah lemari dapur. Harus tajam betul biar enggak merepotkan orang yang nanti bantu-bantu".

Kakek saya, pria berambut ikal yang kelihatan seperti tak pernah marah seumur hidupnya, sedang menyiapkan dengan khusyuk upacara pemakamannya. Ia terlalu bijaksana untuk merepotkan orang lain bahkan di akhir hayatnya. 

Tak lama setelah mengurus motor dan golok kakek jatuh di kamar mandi. Semuanya terjadi demikian cepat; jatuh di kamar mandi, digotong ke kamar, pembuluh darah pecah, dilarikan ke rumah sakit menggunakan pick up terbuka karena kakek sudah koma dan tak bisa apa-apa lagi. 

Nenek saya kejang tak karuan melihat suaminya koma. Sementara ibu saya dan anak-anak kakek yang lain berada terlalu jauh untuk diandalkan. Saya tak punya waktu untuk panik dan segera kocar-kacir kesana kemari memastikan kakek mendapatkan perawatan terbaik. 

Motor yang kakek cuci sore itu benar-benar dipakai menempuh perjalanan jauh. Seorang tetangga yang berbaik hati membantu memakai motor itu untuk bolak-balik mengurus berbagai kebutuhan dari rumah ke rumah sakit. Jarak yang harus ditempuh dalam sekali perjalanan kurang lebih 30 menit, lumayan jauh memang. 

Ketika akhirnya kakek meninggal, golok yang ia asah dipakai warga sekitar untuk menebang batang pohon pisang yang kemudian dijadikan bantal saat mayat kakek dimandikan. 

Saya  sama sekali tidak menangis sejak kakek jatuh, masuk rumah sakit, hingga dinyatakan meninggal tepat di hari ulang tahun saya yang ke-16. Bukannya tak sedih, saya hanya terlalu kalut dan pada akhirnya merasa kakek saya yang kelewat baik itu memang tak layak menderita lebih lama karena penyakitnya. 

Saya baru menangis di hari kedua kepergiannya. Saya menangis ketika mencium aroma tubuhnya di tengah tidur saya. Aroma tubuh milik seorang pria penyayang yang di masa kecil saya selalu memeluk tiap kali saya menangis sesenggukan karena dimarahi ibu atau bapak. Saya juga mencium aroma parfumnya, parfum terbaik yang ia gunakan untuk mengantar saya mendaftar di SMA dan membangunkan saya dari tidur siang untuk terakhir kalinya. 

Sampai detik ini, sesekali saya masih suka mencium aroma terbaik dari kakek; campuran parfum melati dan bau rokok tembakau yang sering betul dihisapnya. Aroma itu selalu hadir di hari ulang tahun saya, hari yang juga menjadi kali pertama dan terakhir kakek menitikkan air mata dalam pejamnya. 

Saya selalu menikmati kehadiran aroma itu sambil tersenyum dan sedikit bertanya-tanya. Apakah aroma itu hadir karena kakek takut dilupakan? Tidak perlu, Kek, aroma khas itu sungguh akan jadi salah satu memori paling abadi karena demikianlah cara saya mengenal dan mengenang orang-orang yang saya sayangi. 

You Might Also Like

2 komentar

  1. Turut berduka wid,aku daftar jadi pembaca setia Kmu, sumpah sedih dan experience nya dapet banget. Btw aroma juga merupakan salah 1 Indra perasa Dan aku jga dulu kek pernah ngalami Hal yg sama walau gak sepeka Kmu, good job, ditunggu kelanjutannya, ganbatte

    BalasHapus