Bertahun-tahun saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya tidak lagi punya rumah. Tidak ada yang benar-benar saya miliki selain diri sendiri. Saya merasa sanggup berdiri sendiri dan berjalan sejauh yang saya mau. Namun pelik tahun-tahun gelap yang berhasil saya lalui ternyata masih menyisakan ruang untuk perasaan kalah.
Sepagian saya mematut diri di depan cermin. Berusaha mengingat senyum lugu seperti apa yang saya punya belasan tahun lalu. Senyum yang membuat bapak sukarela memanggil saya untuk rebah di pangkuannya. Lalu ia akan mulai mengaji, entah sampai saya tertidur nyenyak atau memilih beranjak karena merasa bosan dan tahu kalau kaki bapak kesemutan.
Saya mengurut dada yang masih saja nyeri meski keinginan untuk menangis sama sekali tak saya tahan-tahan dan sudah dituntaskan semalaman. Teringat saya pada semua isak yang berbuah menyenangkan, sebab ibu akan menyuguhkan nugget berbentuk angka untuk membujuk agar tangis berisik saya segera reda.
Perlahan saya mengetuk pintu tempat bapak biasa bersila dengan rupa-rupa buku agama di hadapannya.
"saya sedang tak sanggup berlari, saya ingin sebentar saja beristirahat di sini sambil mendengarkan bapak mengaji"
"apa yang salah?" tanyanya, dan wajah saya menghangat mengetahui bahwa setelah alpa sekian lama malam ini bapak akan kembali mendengarkan saya.
"orang-orang di sekitar saya membuat saya merasa enggak berarti, dengan caranya sendiri-sendiri. Ini enggak adil karena saya selalu berusaha memperlakukan mereka sebaik yang saya bisa"
"bosan juga bapak dengan rokok surya, sayangnya ini yang paling murah harganya" suara berat itu menyahut sekenanya
"saya punya banyak amarah yang saya tahan sendiri sebab tak mau membuat orang lain terlalu sakit hati. Tapi kenapa mereka tak pernah mempertimbangkan perasaan saya sebelum bersikap? Memangnya berlebihan kalau saya berharap perasaan saya dihargai?"
"saya punya banyak amarah yang saya tahan sendiri sebab tak mau membuat orang lain terlalu sakit hati. Tapi kenapa mereka tak pernah mempertimbangkan perasaan saya sebelum bersikap? Memangnya berlebihan kalau saya berharap perasaan saya dihargai?"
"sebaiknya siapkan uang 8 juta, adik-adik mulai butuh laptop baru sepertinya"
Saya memeluk diri sendiri sekuat yang saya bisa dan berjalan tersuruk-suruk sebab rupanya bapak tak pernah benar-benar di sana.
Dengan perasaan mual karena terlalu banyak menahan sedu, saya menghampiri ibu yang sedang berbaring dengan piyama bunga matahari kesukaannya.
"seorang laki-laki mematahkan hati saya"
"Itu kan biasa?" katanya sambil mulai menguap
"Tapi dengan semua perkara lain yang menyertainya, rasa sakit saya jadi kelewat luar biasa. Saya ingin dipeluk dan diyakinkan kalau semua akan baik-baik saja"
Ibu tidak menjawab. Ia pulas begitu saja, menyisakan nyeri di sekujur tubuh saya meski lama sudah tak ada luka-luka di sana.
Dan begitu saja. Perasaan kalah yang membuat saya merendah dan memutuskan kembali ke rumah berubah jadi pecut, memaksa saya kembali berlari meski tak bisa sekencang biasanya.
Dan begitu saja. Seberapapun dunia luar mematahkan hati saya, saya tahu esok lusa akan selalu pulih karena bapak dan ibu membesarkan saya untuk senantiasa merasa begitu. Saya akhirnya menemukan jawaban kenapa setelah semua perasaan nelangsa saya akan dengan mudah memaafkan mereka yang membuat saya kecewa. Sebab bapak dan ibu menyuapi saya dengan hal semacam itu dan angin terus mendikte bahwa saya harus selalu memaafkan keduanya.