SURAT (tak) KECIL UNTUK TUHAN
Selasa, September 23, 2014
Aku ingat. Aku ingat sekali. Dulu, 6 tahun lalu waktu pembicaraan tentang pindah ke Kalimantan mulai sering terdengar di rumah sederhana kami, waktu aku masih terlalu kecil untuk tahu seperti apa wajah perkuliahan, aku telah menyebut nama kampus idaman itu kepada Bapak. “kakak pengen kuliah di UI”. Universitas Indonesia.
Universitas Jenderal Soedirman. Itu dia kampusku sekarang. Bukan, bukan UI yang secara latah telah kusebut sejak kecil.Nama UI yang telah kusebut sejak aku bahkan belum tahu seperti apa bentuknya,rupanya tak berpengaruh apa-apa pada takdirku sekarang. Aku menyebut namanya dalam setiap doa, aku memperjuangkannya, tapi aku dan UI tak berjodoh. Padaha lbapak bilang malaikat tak akan lupa mencatat. Entahlah. Dipandang sebagai catatan saja lebih elok mungkin.
Bagaimanapun aku bersyukur masih bisa berkuliahdi PTN, sementara teman-temanku di luar sana masih bingung hendak kuliah dimana. Aku akan segera tahu seperti apa UNSOED sekaligus kota Purwokerto yang seingatku tak sekalipun mampir di doaku, tempat yang asing seasing-asingnya dan akan kuhadapi sendiri. Satu mimpiku gugur, tapi Allah menggiringku ke tempat yang (semoga) lebih indah untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang lain. Aku percaya Allah itu baik, Ia hanya memberikan apa yang baik dan layak bagi hambaNYA. Kalaupun bukan mimpiku, setidaknya memperjuangkan mimpi ibu yang ingin sekali melihatanak-anaknya menjadi sarjana. Karena dulu ia tak punya kesempatan untuk itu.Atau juga mimpi tak terucap bapak yang ingin mengangkat martabat keluarga kecilnya, yang selama ini dicela diam-diam karena masalah ekonomi. Dicela oleh orang yang menurutku tak lebih baik dari keluargaku dalam banyak hal.
Sebagai anak paling besar dalam keluarga, aku sadar aku memikul banyak harapan. Dan hidup ini tak hanya tentang kebahagiaanku sendiri. Mesti kutanggalkan segala keegoisanku yang menganggap tak masalah menunda hingga tahun depan asal bisa kuliah di UI. Pada gilirannya aku akan menggantikan peran ibu dan bapak, membantu adik-adikku mengejar mimpi-mimpinya. dan giliran itu harus tiba secepat mungkin !
Pada akhirnya aku harus mengaku, saat menulis tulisan ini aku sedang berpura-pura tak rapuh. Tak sederhana, tak pernah sederhana memendam rindu bertahun-tahun pada ibu, bapak dan dua adikku, dua jagoan keci lyang entah masih pantas disebut kecil atau tidak sekarang. Sama sekali tak sederhana pedihnya ketika menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik di wisuda SMA tapi kedua orangtuaku tak ada di sana, di bangku para wali siswa yang riuh bertepuk tangan. Sakitnya tak bisa dipandang sebelah mata, ketika aku mengurusi segala sesuatunya sendiri sedang teman-temanku punya ayah ibu yang siap mengantar kesana-kemari. Gelisah tak tertandingi, ketika sampai sekarang tak ada kejelasan aku dan keluargaku diridhai berkumpul kembali.
Ya Allah, izinkan aku menangis dalam setiap shalat sebagai hambaMU yang paling cengeng. Tapi jangan biarkan suara tangisku terdengar oleh kedua orangtuaku. Jangan buat mereka hanyut dalam perasaan tidak berdaya. Izinkan aku merengek mengungkapkan semua rasa takut dan gentarku dihadapanMU sebagai hamba yang paling lemah. Tapi kuatkan aku di mata mereka ya Allah. Biarlah mereka tahu aku baik-baik saja, sehingga tak perlu mereka merasa bersalah karena tak bisa mendampingiku sebagai anaknya. Basuh peluh mereka yang tumpah untukku, hibur hati mereka jika bersedih karenaku, bahagiakan mereka 0seperti aku selalu ingin melakukannya ya Rabb :’)
1 komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus